SEBARINDO.COM – Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tengah serius mendalami implikasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait jeda penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah. Putusan yang mengamanatkan jeda waktu minimal dua tahun dan maksimal 2,5 tahun ini menuntut Kemendagri untuk melakukan kajian mendalam dari berbagai aspek.
Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum (Dirjen Polpum) Kemendagri, Bahtiar, menyatakan bahwa pihaknya akan segera meminta masukan dari para pakar dan ahli. Hal ini dilakukan untuk memperoleh perspektif komprehensif mengenai dampak putusan MK, termasuk potensi perubahan dalam skema pembiayaan pemilu nasional dan lokal.
“Kami akan membahas secara internal dampak putusan ini, termasuk skema pembiayaan pemilu nasional dan lokal,” ujar Bahtiar, seperti dikutip sebarindo.com laman resmi infopublik pada Minggu (29/6/2025).
Siapkan Perubahan Regulasi dan Koordinasi Lintas Lembaga
Selain aspek pembiayaan, Kemendagri juga akan mengkaji dampak putusan MK terhadap berbagai regulasi yang ada. Fokus utama adalah Undang-Undang tentang Pemilu, Undang-Undang tentang Pilkada, dan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan jadwal penyelenggaraan pemilu dipastikan akan memengaruhi banyak aspek, termasuk dasar hukum pelaksanaannya.
Bahtiar menekankan pentingnya komunikasi intensif, baik di internal pemerintah maupun dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pembentuk undang-undang. “Oleh karena itu, komunikasi intensif akan dilakukan baik di internal pemerintah maupun dengan DPR sebagai pembentuk undang-undang,” katanya.
Kemendagri juga akan menjalin komunikasi erat dengan penyelenggara pemilu, serta kementerian dan lembaga terkait lainnya. Koordinasi ini bertujuan untuk menyusun skema penyelenggaraan pemilu nasional dan lokal yang efektif, sekaligus tetap mengedepankan efisiensi, khususnya dalam hal pembiayaan.
Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Daerah
Sebelumnya, pada Kamis (26/6/2025), Mahkamah Konstitusi (MK) dalam amar Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 memutuskan untuk memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah. Pemisahan ini wajib memiliki jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama 2,5 tahun.
Pemilu nasional meliputi pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden. Sementara itu, pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah (gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota).
Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, menyatakan, “Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian.” Permohonan tersebut diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili oleh Ketua Pengurus Yayasan Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Pengurus Yayasan Perludem Irmalidarti.
Secara lebih rinci, MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Pasal tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagai berikut:
“Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan presiden/wakil presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional.”
Dengan adanya putusan ini, Kemendagri kini memiliki tugas besar untuk memastikan transisi dan implementasi kebijakan berjalan lancar demi terciptanya sistem pemilu yang lebih baik di Indonesia.(PSR/rls)
**