160x600
160x600
BeritaRefleksi Realita

Bayang-Bayang Calo Jabatan di Balik Euforia Pilkada: Tantangan bagi Pemerintahan Baru

320
×

Bayang-Bayang Calo Jabatan di Balik Euforia Pilkada: Tantangan bagi Pemerintahan Baru

Sebarkan artikel ini
Pupu"Poe'Saputra R. jurnalis dan penikmat kopi.Foto:Dok Pribadi

SEBARINDO.COM-Usai sudah pelaksanaan Pilkada serentak 2024, suasana kemenangan melingkupi banyak daerah. Para pemenang sudah ditetapkan, tinggal menunggu waktu pelantikan dan memulai babak baru yakni menjalankan visi, misi serta program kampanye  dalam kepemimpinan mereka.

Namun, di balik gegap gempita ini selalu muncul aktivitas rutin pada setiap menjelang pelantikan pun berlangsung. Para calo jabatan bergentayangan, menawarkan nama-nama tertentu kepada kepala daerah terpilih.

Ketika Politik Menjadi Arena Transaksional

Ilmu politik mengajarkan bahwa kekuasaan selalu beriringan dengan kepentingan. Dalam konteks Pilkada, kemenangan bukan sekadar capaian personal seorang kepala daerah, tetapi juga merupakan hasil kerja kolektif dari berbagai kelompok, mulai dari partai pengusung, tim sukses, hingga relawan.

Sayangnya, kerja kolektif ini sering kali diikuti oleh “tagihan politik” dari pihak-pihak yang merasa berjasa.

Praktik menitipkan nama-nama untuk menduduki jabatan strategis di pemerintahan adalah bentuk nyata dari politik transaksional. Mereka yang dititipkan sering kali bukan karena kapasitas atau integritas, melainkan demi menjaga kepentingan kelompok tertentu. Akibatnya, meritokrasi sebagai prinsip dasar dalam birokrasi justru terabaikan.

Menurut Pusat Edukasi Antikorupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) politik transaksional memiliki prinsip dasar memberi dan menerima. Kuncinya adalah, orang yang menerima pasti akan berusaha untuk membalas orang yang telah memberi. Dalam dunia politik, balasan ini bisa terjadi dalam berbagai bentuk.

Misalnya saja ketika seorang politisi berhasil meraih posisi tertentu berkat bantuan politisi lainnya, maka bentuk balasannya bisa berupa janji pemberian jabatan. Sementara jika melibatkan pengusaha, maka bentuk balasan yang diberikan bisa berupa pemberian proyek kepada pengusaha tersebut.

Politik transaksional yang terjadi dalam sebuah negara sangatlah berbahaya karena akan menyebabkan seluruh kebijakan yang dibuat didasarkan pada kepentingan pribadi dan golongan.

Padahal, ketika masyarakat memilih seseorang untuk mewakilinya dalam sistem pemerintahan, artinya masyarakat telah memberikan amanat padanya untuk membangun negara ini demi kepentingan umum.

Salah satu contoh, ketika seorang kepala bidang di salah satu organisasi perangkat daerah (OPD) bercerita, bahwa kepala dinas dimana dia bekerja didatangi oleh seseorang yang mengaku timses atau orang dekat salah satu paslon wali kota dan wakil wali kota terpilih.

Orang tersebut lalu menawarkan jabatan kepada kepala dinas tersebut untuk menduduki jabatan tertentu,padahal dia bukan Baperjakat yang mempunyai kewenangan melakukan pengangkatan, mutasi dan rotasi ASN.Tentu saja lanjut dia, tawaran orang tersebut tidak gratis, ada nilai yang harus dibayar untuk duduk di posisi yang diinginkan.

Dampak Sistemik bagi Pemerintahan

Jika praktik ini terus dibiarkan, dampaknya bukan hanya pada efisiensi pemerintahan, tetapi juga legitimasi politik kepala daerah. Seorang pemimpin yang mengakomodasi permintaan semacam ini akan terjebak dalam dilema antara menjaga loyalitas tim dan memenuhi tuntutan publik. Tidak jarang, kompromi ini berujung pada skandal korupsi yang mencoreng nama baik pemimpin dan daerahnya.

Kasus-kasus sebelumnya sudah cukup menjadi pelajaran. Kota-kota besar pernah kehilangan kepercayaan publik karena pemimpin mereka tersandung korupsi. Pola ini menunjukkan bahwa ancaman terbesar bagi seorang pemimpin bukanlah rakyat, tetapi lingkaran terdekatnya sendiri.

Menegakkan Profesionalisme di Tengah Tekanan

Para kepala daerah terpilih harus memiliki keberanian untuk mengatakan tidak pada praktik calo jabatan. Dalam ilmu politik, ini dikenal sebagai penerapan merit sistem, di mana penunjukan jabatan didasarkan pada kemampuan dan kinerja, bukan pada hubungan atau imbalan politik.

Pemimpin juga dapat memanfaatkan waktu sebelum pelantikan untuk menyusun tim dengan cermat. Dukungan dari lembaga seperti KPK, akademisi, atau psikolog profesional dapat menjadi alat bantu untuk menilai kelayakan calon pejabat. Langkah ini tidak hanya menciptakan tim yang kompeten, tetapi juga menunjukkan komitmen terhadap pemerintahan yang bersih.

Tantangan Mengembalikan Kepercayaan Publik

Selain membentuk tim yang profesional, tantangan lain yang harus dihadapi adalah mengembalikan kepercayaan masyarakat. Banyak daerah, terutama kota-kota besar, menghadapi krisis legitimasi karena rentetan kasus korupsi di masa lalu. Pemimpin baru perlu menunjukkan integritas dan keberpihakan kepada rakyat, bukan kepada kelompok atau individu tertentu yang memiliki kepentingan sempit.

Euforia kemenangan Pilkada harus diikuti dengan langkah nyata untuk membangun pemerintahan yang solid dan bersih. Praktik calo jabatan bukan hanya mencederai moralitas politik, tetapi juga menghambat pembangunan. Pemimpin yang memiliki keberanian untuk menolak intervensi semacam ini akan menjadi pelopor perubahan menuju sistem pemerintahan yang lebih transparan dan akuntabel.

Karena pada akhirnya, kekuasaan adalah amanah, bukan arena untuk bancakan. Pemimpin yang bijak adalah mereka yang berani berdiri di atas prinsip, meski harus melawan arus. Ini bukan sekadar ujian kepemimpinan, tetapi juga ujian moralitas yang akan menentukan arah pembangunan daerah ke depan.***

Pupu”Poe”Saputra R

Jurnalis dan penikmat kopi